Minggu, 20 Januari 2013

Cerita Seorang Pelukis Part 3


Aku sedih juga senang saat ini. Dua parasaan itu berkecamuk jadi satu bersama-sama memenuhi hatiku. Senang karena bisa menjadi sekarang ini, sedih karena aku telah terbuang dari keluarga. Mereka malu akan keberadaanku, aku anak yang terlahir cacat. Tapi, biarpun demikian aku tidak menaruh benci pada mereka. Aku bersyukur masih bisa hidup dengan layak berkat ayah angkatku.
            Aku sudah sampai di Istana. Mengenakan atas putih bersih berenda begian dada dan bawahan merah bermotif batik Kal-Tim, disertai asesoris kalung akar bahau liontin dengan inisial namaku, aku tampak anggun. Kalung ini satu-satunya peninggalan dari kedua orangtuaku saat aku dijual beberapa tahun lalu. Kalung ini sangat unik, aku rasa tidak ada yang memilikinya kecuali aku.
            Aturan protokoler sangant keras. Semua sudah diatur, aku bersama ayah duduk dikursi nomor iga. Hari ini aka nada pemberian penghargaan bagi anak-anak berbakat seluruh Indonesia. Impianku sebentar lagi tercapai, kurang dari 2 jam lagi aku akan bertemu sang Presiden. Suasana hatiku menjadi tegang, deg-degan. Ruang ber-Actidak mamu mendinginkan hatiku. Aku gemetar, entah apa yang  membuatku menjadi begini. Atau mungkin aku terlalu gembira. Pokoknya aku bingung!
            Disini aku, berdiri disamping Bapak Presiden. Memberikan lukisanku kepadanya. Lukisan tentang seorang anak jalanan duduk di emper took sambil memegang piring seng. Lukisan ini menggembarkan potret diriku waktu kecil. Lukisan berairan realis, dilukis dengan meida kanvas berukuran A3, menggunakan cat minyak, dengan penuh kejujuran mencerutakan siapa diriku sebenarnya.
            Tepk tangan riuh rendah kudengar dalam ruangan. Aku anak cacat bersalaman dengan orang nomor satu di Indonesia. Kemudian beliau memelukku sambbil mengucapkan kata-kata penuh kekaguman padaku. Aku mendapat penghargaan dan beasiswa. Aku tak kuasa menahan air mata, tanda keharuan. Andai saja orang tuaku ada !
            Tak terasa sudah selesai. Semua yang hadir saling berjabat tangan. Ada yang membuatku terkesan yaitu Ibu Gauh Ariani. Aku tidak mengerti mengapa pandangannya begitu lekat padaku. Orangnya ramah dan banyak senyum. Dapatdisimpulkan dia orang baik. Namun, walau begitu ada yang tidak aku mengerti, mengapa aku seperti sudah lama mengenalnya.
            Beberapa hari sudah berlalu, aku sudah kembali pada rutinitasku. Aku selalu mengisi waktu luangku untuk melukis. Ketika keasyikanku baru saja kumulai tukang pos mengagetkanku.
            “Apa benar ini kediaman Kertika Putri Fuadi”
            “Benar”
            “ada surat dari Ibu Galuh Ariani buat Dek Kertika”
            Segera aku membukanya setelah tukang pos itu pergi. “ada apa ya?” hatiku bertanya-tanya, dan isinya:
            Kartika…..
                Maafkan ibu, kalau kedatangn ini membuatmu kaget.
                Perlu Kartika ketahui, sejak melihatmu pertama kali waktu itu, ibu seperti kembali ke masa lalu. Ibu teringat pada anak ibu, kalau diabesar pasti seumuran denganmu. Yang amat persis denganmu, tubuhnyapun tidak lengkap, sama seperti dirimu.
                Kartika…..
                Kamu pasti menilai ibu sebagai orang baik,bukan? Tidak,itu penilaian salah. Sebenarmya ibu seorang yang jahat. Kepapan telah membutakan hati ibu, anak ibu yang cacat ibu jual pada sepasang suami-istri di kampong ibu. Hal itu ibu lakukan karena kemiskinan dan perasaan malu. Sebagai kenangan ibu memberinya tanda seuntai kalung akar bahau denngan liontin mirip seperti yang kamu pakai. Kalung itu buatan ibu sendiri.
                Kartika…..
                Aku tidak sanggup berandai-andai, andaikan kamu adalah anak ibu. Kalau nama bisa sama, tetapi kalung itu benar-benar merobek masa lalu ibu. Sekarang dip anti asuhan ini, ibu mengabikan diri untuk menembus dosa.
                Kartika ……
                Ibu seperti terhipnotis, tidak punya rasa malu menceritakan semua ini. Perlu kamu ketahui tuhan telah menghukum ibu. Hidup yang berkecukupan ini tidak perna memberikan kebahhagiaan. Kamu sanat beruntung memiliki orang tua yang saying padamu. Ibu berharap suatu saat nanti, sebelm akhir hayat dapat bertemu dengan buah hati ibu dan memeluknya dengan erat aga tidak terlepas lagi.
                Kartika …….
                Demikian surat dari ibu. Peluk cium ibu unutukmu. Salam untuk kedua orang tuamu.
                Dari Ibu Galuh Ariani         
            Mengapa ibu kejam kepadaku? Mengapa ibu membuangku? Bertahun-tahun aku hidup tersia-sia, mengharap belas kasih orang,kini tiba-tiba kau dating. Kau dating dengan penyasalan mu. Sekarang aku sudah hidup senang dengan Pak Wardjono yang sekarang kupanggil ayah. Dia sangat menyayangiku.
            Sambil menangis, kartika melipat surat dari Ibu Galuh. Apayang diceritakan sama dengan yang dialami. Cerita itu adalah dirinya, kehidupan nyata yang sesungguhnya, dan itu benar adanya. Tak ada gunanya menyimpan  dusta, karena sama saja dengan munafik. Kartika menangis sesukanya, mengepalkan tinju ke dinding dan sesekali meneriakan nama ibunya. Antara rasa syukur dan kebencin, berkecamuk jadi satu dalam hatinya. Antara mengakui atau tidak, Kartika menimbang-nimbang keinginannya. Ini sudah nasibnya, apakah nasib telah mempermainkannya atau tuhan telah mengabulkan doanya. Yang jelas ada getaran yang ia tidak mengerti ketika teringat dengan perempuan itu. Tentang keberadaanya surat ini ayah harus segera tahu karena aku tidak sabar memanggilnya ibu. Ya, ibu yang sesungguhnya!

Oleh: Annisa Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar