K
|
UPANDANGI
LUKISANKU, kulihat satiap detailnya,sudutnya,warnanya,apakah yang kuliskan ini
dapat membuat bapak Presiden kagum? Kartika Sari Fuadi. Salah satu anak dari
berjuta-juta anak yang tak jelas hidupnya. Bakatku adalah melukis ,impianku
sejak kecil adalah memperlihatkan lukisanku kepada bapak Presiden di Indonesia.
Aku ingin memperlhatkan pada beliau bahwa masih banyak orang sepertiku di
Indonesia yang membutuhkan bantuannya.aku hidup sendiri.tak punya teman,
keluarga, hanya seekor bekantan bernama gugu yang setia menemaniku. Keluargaku
meninggalkanku waktu aku lahir,mereka tidak menerimaku karena tangan kananku
tidak ada. Teman? Jangan Tanya pada soal teman, jangankan berteman bertatap
muka denganku saja mereka jijik. Mataku cacat sebelah kiri, aku sendiri tidak
tau penyakit apa ini. Yah,inilah nasibku
Aku lahir di kota minyak, Balikpapan. Ketika
umurku satu tahun, orangtuaku menjualku pada sepasang suami istri yang tidak
mempunyai anak, ternyata mereka sama saja mereka menyekapku dan memasungku di
ruang yang gelap yang aku sendiri tidak tau persis di mana letaknya. Sampai
saat ini aku tidak mengapa mereka melakukanseperti itu. Sejak saat itu aku
tidak percaya akan kasih sayang orang
tua dan tuhan. Aku mengga itu semua hanya omong kosong. Ketika umurku 4 tahun,
mereka melepaskanku dengan biadapnya, membuangku di tempat samaph di dekat pasar. Samapi
akhirnya seorang penjual alat lukis mengambilku. Ia membesarkanku dengan baik.
Ibu Yuli namanya, ia memperkenalkanku pada alat-alat lukisnya ia juga mengajariku
melukis dengan tangan kiri. Sejak saat itu aku mulai melukis namun, aku masih
tidak percaya akan kasih saying tuhan, aku yakin suatu saat Ibu Yuli akan
meninggalkanku sama seprti orang tua lainnya. BENAR ! Ibu Yuli meninggalkanku !
ia sengaja menaruhku ditempat jualan ikan, sementara ia pergi menghilang. Sejak
saat itulah aku mulai melatih sendiri bakat melukisku.
Sekolah
? belum pernah aku merasakan duduk di kelas bersama teman-teman sambil
mendengarkan penjelasan guru. Aku hanya belajar melukis. Peralatan Ibu Yuli
membantu. Aku mendapat uang dari hasil lukisanku. Aku menjual di tempat
pelelangan lukisan. Dan ketika ada dermawan yang ingin membeli lukisannya,
dqapatlah aku uang. Saat itu dengan bangganya aku membawa lukisan ke tempat
lelang. Aku menyandarkannya kemudian aku duduk disampingnya sambil bersandar
pula, satu jam, dua jam, tiga jam, tidak ada yang tertarik pada lukisanku.
Sudah pukul 12.00 WITA, matahari siang masih betah menyinari kota Balikpapan, pukul 14.00 WITA , hamper enam jam
aku menunggu. Namun, aku belum menemukan orang yang tertarik. Lama-lma aku
tertidur. Ketika aku merasakan guncangan di pundakku, aku terbangun. Seorang
bapak paruh baya dengan rambut dua warna, hitam dan sebagian memutih,
melambankan usianya. Ia menyimpulkn senyum. Senyum termanis yang pernah kulihat
“Nak bisahkah aku membeli
lukisanmu?” bapak itu bertanya padaku.
Aku terpengah, kaget tak percaya
tapi aku bahagia, akhirnya perjuanganku membuahkan hasil juga
“aku kira kamu tidak menjualnya.
Maklum saja, lukisan ini terlalu bagus untuk dijual” seru bapak itu yang
melihatku terpengah seakan berkata ’maaf pak, lukisanku bukan untuk dijual ’.
aku langsung menggeleng cepat. Aku mengambil lukisanku dan memberikannya.
“ harganya tiga puluh lima ribu rupiah
” perkataanku membuatnya kaget. Sekwtika tawanya pecah.
“ bagaimana kau bisa menjual lukisan
ini dengan harga yang sangat murah? Saya akan membeli lukisan ini dengan harga
satu juta rupiah” jantungku bergedup kencang. Belum eprnah ada orang yang membeli
lukisanku dengan harga setinggi itu. Lalu akupun mencaritakan masa kecilku
serta impianku padanya.ditambah ukurku yang mesih belasan tahun ini membuat pak
Wardjono tak tega.ia mendengarkan dengan baik. Harunya, tanpa basa-basi ia
langsung berniat mengasuhku
Sudah 4 hari aku tinggal di rumah
mewah yang ada di komples BDI Balikpapan. Rumah pak Wardjono yang terletak di
jalan kasabelangkaa no 10 penuh dengan perabotan khas Kalimantan mulai dari
kursi, meja, vas, lemari, bahkan di pojok ruang keluarga terpasang tameng
dengan ornamen khas ukiran dayak. Di rumah besar ini pak Wardjono hidup
sendiri. Istrinya meninggal 3 tahun lalu
Aku duduk di teras rumah, mencari
inspirasi untuk melukis. Pak Wardjono yang sekarang kupanggil ayah dating dan
duduk disampingku. Aku bisa merasakan nafas beratnya ketika ia duduk. Ia
bertanya padaku hal apa yang harus aku lakukan untuk menunjukan lukisanku pada
bapak Presiden? Aku menggeleng tak tahu. Aku sudah memikirkannya sudah lama.
Namun, aku masih bingung bagaimana caranya.
“ ayo kartika, sebaiknya kita
berjalan mengelilingi kota” ajak ayah. Aku masih belum dapat ide, kepalaku tak
henti-hentinya memikirkan masa kecilku. Setelah lama tidak dapat inspirasi, aku
turun berjalan di sekitar pasar klandasan. Aku berjalan menelusuri trotar
bersama ayah. saat itu juga aku melihat anak laki-laki yang umurnya labih muda
dariku. Bajunya robek, rambutnya kusut-masai, tatapan matanya kosong, pokoknya
apa yang tampak dari diri laki-laki tersebut seolah-olah mengatakan bahwa dia
adalah orang gila.
Melihat dirinya mengingatkanku akan
diriku yang dulu. Syukurlah, unutngnya aku belum gila. Sepertinya mimiku yang
yang membuatku tidak sampai begitu, satu ide terlintas di pikiranku. Aku ingin
melukis lelaki ini! Mendengar ideku ayah mengizinkanku. Tentu saja ayah sempat
kaget mendengar ide gila ini. Kemudian ayah memberinya makanan dan mengaja
bicarasementara aku memotret orang gila tersebut.tentu saja aku tidak
melukisnya saat itu, karena membutuhkan waktu yang cukup lama. Setela mengambil
beberapa gambar aku mengajak ayah untuk pulang
Sampai di rumah aku langsung
menghampiri kamarku. Tentunya menghabisi banyak waktu untuk melukis orang gila
tadi. Aku mengambil alat lukis seperti kanvas, cat minyak, dan kuas. Aku memulainya,
waktu itu jam menunjukan 16.00 WITA
Aku melukis tanpa menyerah. Inilah jalanku,
aku harus melukis. Kali ini untuk menyadarkan emerentah bahwa masih ada orang
yang menderita di luar sana. Aku tidak mau ada anak yang nasibnya sama dengan
orang gila itu,juga denganku. Keringatku menetes banyak aku tidak peduli. Aku harus
menyelesaikan lukisanku ini, tak peduli seberapa susah melukis wajah orang ini.
Meurutku tak seorangpun bisa menyelesaikan lukisan ini. Setelah 8 jam
memperjuangkan lukisanku, akhirnya jadi juga. Aku langsung bersorak
“ Wuhu “!, setelah lama memandangi
lukisan yang menurutku “sangat bagus”aku tertidur. Namun saat aku terbangun
lukisan itu lenyap. Aku masih ingat dimana aku meletakkan lukisan itu. Aku turun
kebawah hendak berttanya dimana lukisanku sekarang. Ternyata ayah yang
mengambilnya. Aku tertidur cuku lama, katanya. Saat aku tertidur ayah
memperhatikan lukisanku, kemudian ia langsung mengambil lukisannya. Tanpa sepengetahuanku
ayah menghubungi temannya dengan maksud agar dapat memperkenalkan lukisanku
kepada public. Aku senang sekali untuk itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar