Sabtu, 19 Januari 2013

cerita seorang pelukis part 1



K
UPANDANGI LUKISANKU, kulihat satiap detailnya,sudutnya,warnanya,apakah yang kuliskan ini dapat membuat bapak Presiden kagum? Kartika Sari Fuadi. Salah satu anak dari berjuta-juta anak yang tak jelas hidupnya. Bakatku adalah melukis ,impianku sejak kecil adalah memperlihatkan lukisanku kepada bapak Presiden di Indonesia. Aku ingin memperlhatkan pada beliau bahwa masih banyak orang sepertiku di Indonesia yang membutuhkan bantuannya.aku hidup sendiri.tak punya teman, keluarga, hanya seekor bekantan bernama gugu yang setia menemaniku. Keluargaku meninggalkanku waktu aku lahir,mereka tidak menerimaku karena tangan kananku tidak ada. Teman? Jangan Tanya pada soal teman, jangankan berteman bertatap muka denganku saja mereka jijik. Mataku cacat sebelah kiri, aku sendiri tidak tau penyakit apa ini. Yah,inilah nasibku
             Aku lahir di kota minyak, Balikpapan. Ketika umurku satu tahun, orangtuaku menjualku pada sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak, ternyata mereka sama saja mereka menyekapku dan memasungku di ruang yang gelap yang aku sendiri tidak tau persis di mana letaknya. Sampai saat ini aku tidak mengapa mereka melakukanseperti itu. Sejak saat itu aku tidak percaya  akan kasih sayang orang tua dan tuhan. Aku mengga itu semua hanya omong kosong. Ketika umurku 4 tahun, mereka melepaskanku dengan biadapnya, membuangku  di tempat samaph di dekat pasar. Samapi akhirnya seorang penjual alat lukis mengambilku. Ia membesarkanku dengan baik. Ibu Yuli namanya, ia memperkenalkanku pada alat-alat lukisnya ia juga mengajariku melukis dengan tangan kiri. Sejak saat itu aku mulai melukis namun, aku masih tidak percaya akan kasih saying tuhan, aku yakin suatu saat Ibu Yuli akan meninggalkanku sama seprti orang tua lainnya. BENAR ! Ibu Yuli meninggalkanku ! ia sengaja menaruhku ditempat jualan ikan, sementara ia pergi menghilang. Sejak saat itulah aku mulai melatih sendiri bakat melukisku.
                                                                                                                                   
Sekolah ? belum pernah aku merasakan duduk di kelas bersama teman-teman sambil mendengarkan penjelasan guru. Aku hanya belajar melukis. Peralatan Ibu Yuli membantu. Aku mendapat uang dari hasil lukisanku. Aku menjual di tempat pelelangan lukisan. Dan ketika ada dermawan yang ingin membeli lukisannya, dqapatlah aku uang. Saat itu dengan bangganya aku membawa lukisan ke tempat lelang. Aku menyandarkannya kemudian aku duduk disampingnya sambil bersandar pula, satu jam, dua jam, tiga jam, tidak ada yang tertarik pada lukisanku. Sudah pukul 12.00 WITA, matahari siang masih betah menyinari kota Balikpapan, pukul 14.00 WITA , hamper enam jam aku menunggu. Namun, aku belum menemukan orang yang tertarik. Lama-lma aku tertidur. Ketika aku merasakan guncangan di pundakku, aku terbangun. Seorang bapak paruh baya dengan rambut dua warna, hitam dan sebagian memutih, melambankan usianya. Ia menyimpulkn senyum. Senyum termanis yang pernah kulihat
            “Nak bisahkah aku membeli lukisanmu?” bapak itu bertanya padaku.
            Aku terpengah, kaget tak percaya tapi aku bahagia, akhirnya perjuanganku membuahkan hasil juga
            “aku kira kamu tidak menjualnya. Maklum saja, lukisan ini terlalu bagus untuk dijual” seru bapak itu yang melihatku terpengah seakan berkata ’maaf pak, lukisanku bukan untuk dijual ’. aku langsung menggeleng cepat. Aku mengambil lukisanku  dan memberikannya.
            “ harganya tiga puluh lima ribu rupiah ” perkataanku membuatnya kaget. Sekwtika tawanya pecah.
            “ bagaimana kau bisa menjual lukisan ini dengan harga yang sangat murah? Saya akan membeli lukisan ini dengan harga satu juta rupiah” jantungku bergedup kencang. Belum eprnah ada orang yang membeli lukisanku dengan harga setinggi itu. Lalu akupun mencaritakan masa kecilku serta impianku padanya.ditambah ukurku yang mesih belasan tahun ini membuat pak Wardjono tak tega.ia mendengarkan dengan baik. Harunya, tanpa basa-basi ia langsung berniat mengasuhku
                                                                                                                                                           
            Sudah 4 hari aku tinggal di rumah mewah yang ada di komples BDI Balikpapan. Rumah pak Wardjono yang terletak di jalan kasabelangkaa no 10 penuh dengan perabotan khas Kalimantan mulai dari kursi, meja, vas, lemari, bahkan di pojok ruang keluarga terpasang tameng dengan ornamen khas ukiran dayak. Di rumah besar ini pak Wardjono hidup sendiri. Istrinya meninggal 3 tahun lalu
            Aku duduk di teras rumah, mencari inspirasi untuk melukis. Pak Wardjono yang sekarang kupanggil ayah dating dan duduk disampingku. Aku bisa merasakan nafas beratnya ketika ia duduk. Ia bertanya padaku hal apa yang harus aku lakukan untuk menunjukan lukisanku pada bapak Presiden? Aku menggeleng tak tahu. Aku sudah memikirkannya sudah lama. Namun, aku masih bingung bagaimana caranya.
            “ ayo kartika, sebaiknya kita berjalan mengelilingi kota” ajak ayah. Aku masih belum dapat ide, kepalaku tak henti-hentinya memikirkan masa kecilku. Setelah lama tidak dapat inspirasi, aku turun berjalan di sekitar pasar klandasan. Aku berjalan menelusuri trotar bersama ayah. saat itu juga aku melihat anak laki-laki yang umurnya labih muda dariku. Bajunya robek, rambutnya kusut-masai, tatapan matanya kosong, pokoknya apa yang tampak dari diri laki-laki tersebut seolah-olah mengatakan bahwa dia adalah orang gila.
            Melihat dirinya mengingatkanku akan diriku yang dulu. Syukurlah, unutngnya aku belum gila. Sepertinya mimiku yang yang membuatku tidak sampai begitu, satu ide terlintas di pikiranku. Aku ingin melukis lelaki ini! Mendengar ideku ayah mengizinkanku. Tentu saja ayah sempat kaget mendengar ide gila ini. Kemudian ayah memberinya makanan dan mengaja bicarasementara aku memotret orang gila tersebut.tentu saja aku tidak melukisnya saat itu, karena membutuhkan waktu yang cukup lama. Setela mengambil beberapa gambar aku mengajak ayah untuk pulang
            Sampai di rumah aku langsung menghampiri kamarku. Tentunya menghabisi banyak waktu untuk melukis orang gila tadi. Aku mengambil alat lukis seperti kanvas, cat minyak, dan kuas. Aku memulainya, waktu itu jam menunjukan 16.00 WITA
            Aku melukis tanpa menyerah. Inilah jalanku, aku harus melukis. Kali ini untuk menyadarkan emerentah bahwa masih ada orang yang menderita di luar sana. Aku tidak mau ada anak yang nasibnya sama dengan orang gila itu,juga denganku. Keringatku menetes banyak aku tidak peduli. Aku harus menyelesaikan lukisanku ini, tak peduli seberapa susah melukis wajah orang ini. Meurutku tak seorangpun bisa menyelesaikan lukisan ini. Setelah 8 jam memperjuangkan lukisanku, akhirnya jadi juga. Aku langsung bersorak
            “ Wuhu “!, setelah lama memandangi lukisan yang menurutku “sangat bagus”aku tertidur. Namun saat aku terbangun lukisan itu lenyap. Aku masih ingat dimana aku meletakkan lukisan itu. Aku turun kebawah hendak berttanya dimana lukisanku sekarang. Ternyata ayah yang mengambilnya. Aku tertidur cuku lama, katanya. Saat aku tertidur ayah memperhatikan lukisanku, kemudian ia langsung mengambil lukisannya. Tanpa sepengetahuanku ayah menghubungi temannya dengan maksud agar dapat memperkenalkan lukisanku kepada public. Aku senang sekali untuk itu.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar